Minggu, 10 Juli 2011

Tauhid

PINTU ILMU
Posted on 10 juli 2011 by Apep hilmi alfarizi


4 Pengunjung Blog

Dalam riwayat yang ditulisnya, Ibnu Abbas mengatakan: “Demi Allah, Rasul Allah s.a.w. telah memberi kepada Imam Ali sembilan-persepuluh dari semua ilmu yang ada, dan demi Allah, Imam Ali masih juga mengetahui sebagian dari sepersepuluh ilmu sisanya yang ada pada kalian atau pada mereka.”
Mengenai hal itu cukuplah dikemukakan saja ucapan Rasul Allah s.a.w. yang menegaskan: “Aku ini adalah kotanya ilmu atau kotanya hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang siapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia mengambil lewat pintunya.”
Allah s.w.t. telah melimpahkan nikmat tiada terhingga kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berupa ilmu dan hikmah, sehingga ia menjadi orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai isi A1 Qur’an serta ajaran-ajaran Rasul Allah s.a.w. Dengan sendirinya ia pun merupakan orang yang paling mampu menetapkan fatwa hukum Islam. Sebenarnya hal itu bukan merupakKan satu kejutan, karena dia adalah satu-satunya orang muslim yang terdini memeluk Islam dan hidup langsung di bawah naungan wahyu sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.
Sebuah riwayat hadits yang berasal dari Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a.: “Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada seorang Qureisy pun yang dapat menyangkalnya, yaitu:
- Engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah,
- Engkau orang yang terdekat dengan janji Allah,
- Engkau orang yang termampu menegakkan perintah Allah,
- Engkau orang yang paling adil mengatur pembagian (ghanimah),
- Engkau orang yang paling berlaku adil terhadap rakyat,
- Engkau paling banyak mengetahui semua persoalan,
- dan Engkau orang yang paling tinggi nilai kebaikan sifatnya di sisi Allah.”
Jadi, kalau Rasul Allah s.a.w. sendiri sudah menilai Imam Ali r.a. sedemikian lengkapnya, tidaklah keliru kalau dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. merupakan kualitas pilihan di kalangan ummat Islam.
Fashahah dan Balaghah
Al Mas’udiy meriwayatkan, bahwa lebih dari 480 khutbah yang diucapkan oleh Imam Ali r.a. tanpa dipersiapkan lebih dahulu, dihafal oleh banyak orang. Syarif Ar-Ridha mengatakan dalam kitab Khutbah Nahjil Balaghah, bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah pencipta dan pengajar ilmu Fashahah dan juga merupakan orang yang melahirkan ilmu Balaghah.
Dari dialah munculnya aturan-aturan ilmu tersebut dan dari dia juga orang mengambil kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya. Tiap orang yang berbicara sebagai khatib, pasti mengambil pepatah atau kata-kata rnutiara dari dia, dan tiap orang yang pandai mengingatkan orang lain pasti mencari bantuan dengan jalan mengutip kata-kata Imam Ali. Demikian kata Syarif Ar Ridha.
Tentang hal itu Muawiyah sendiri juga terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, ketika ia berkata terus terang kepada Abu Mihfan: “Seandainya semua mulut dijadikan satu, belum juga dapat menyamai kepandaian Ali bin Abi Thalib. Demi Allah, tidak ada orang Qureiys yang cakap berbicara seperti dia!”
Banyak sekali ungkapan dan kata-kata mutiara Imam Ali r.a. tercantum dalam kitab Nahjul Balaghah, yang dibelakang hari diuraikan oleh Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarah Nahjil Balaghah, yang terdiri dari 20 jilid. Buku Nahjul Balaghah kiranya cukuplah menjadi bukti, bahwa dalam hal menyusun kalimat dan memilih kata-kata bermutu, memang tidak ada orang lain yang dapat menyamai atau melebihi Imam Ali r.a. selain Rasul Allah s.a.w. sendiri. Salah satu contoh ialah kata-katanya: “Tiap wadah bila diisi menyempit kecuali wadah ilmu, ia bahkan makin bertambah luas.”
Dalam kitab Al Bayan wat Tabyin, Al Jahidz mengetengahkan ucapan Imam Ali r.a. yang mengatakan: “Nilai seseorang ialah perbuatan baiknya.” Dalam memberikan tanggapan terhadap ucapan Imam Ali r.a. tersebut, Ibnu Aisyah mengatakan: “Selain kalam Allah dan Rasul-Nya, aku tidak pernah menemukan sebuah kalimat yang lebih padat maknanya dan lebih umum kemanfaatannya dibanding dengan ucapan-ucapan Imam Ali.”
Pernah ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a. tentang berapa jauhnya jarak antara langit dan bumi. Imam Ali dengan mudah saja menjawab: “Jauhnya secepat doa yang terkabul!” Orang itu masih bertanya lagi tentang jauhnya jarak antara timur dan barat. Dijawab oleh Imam Ali r.a.: “Sejauh perjalanan matahari sehari!”
Nahwu
Ilmu Nahwu yang merupakan salah satu cabang pokok ilmu bahasa Arab pun sejarah pertumbuhannya tak dapat dipisahkan dari pemikiran Imam Ali r.a. Dialah yang meletakkan dasar-dasar fundamental ilmu tersebut. Tokoh pertama yang terkenal sebagai penyusun ilmu Tata Bahasa Arab, Abul Aswad Ad Dualiy, di imla (didikte) oleh Imam Ali r.a. dalam meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu dan kaidah-kaidahnya. Antara lain Imam Ali r.a.-lah yang membagi jenis kata-kata dalam tiga kategori secara sistematik. Yaitu kata benda (ism), kata kerja (fi’il) dan kata penghubung (harf). Ia jugalah yang membagi kata benda ke dalam dua sifat. Ma’rifah, yaitu kata benda yang jelas maksudnya dalam hubungan kalimat, dan Nakirah, yaitu lawan kata benda Ma’rifah. Demikian juga yang berkaitan dengan jenis-jenis I’rab, seperti rafa’, nasb, jarr dan jazm.
Keistimewaannya ialah dalam meletakkan kaidah-kaidah tata-bahasa Arab itu, Imam Ali r.a. seolah-olah seperti berbuat mu’jizat. Sebab sebelum itu, belum pernah ada orang Arab yang mengenal sistematisasi penyusunan tata-bahasa. Rumus-rumus tata-bahasa belum pernah dikenal orang sama sekali. Padahal bahasa Arab adalah bahasa yang sangat tua, kaya dan rumit. Bangsa-bangsa Eropa yang dalam abad modern sekarang ini menguasai peradaban dunia, waktu itu masih tenggelam dalam vandalisme dan pengembaraan liar. Jadi tidaklah keliru kalau dikatakan Imam Ali r.a. itu adalah bapak bahasa Arab modern. Sebab rumus-rumus dan kaidah-kaidah yang diletakkan olehnya, membuat bahasa Arab mudah dipelajari oleh orang asing.
Khutbah
Kecakapannya berkhutbah bukan asing lagi bagi para penulis sejarah Islam. Imam Ali r.a. bukan hanya dikenal sebagai Bapak bahasa Arab, tetapi dalam hal penggunaan dan penerapan bahasa pun ia dikenal sebagai seorang ahli terkemuka. Keunggulannya dalam kecakapan berbahasa dan bersastra membuat orang menarik kesimpulan, bahwa nilai perkataan Imam Ali r.a. berada di bawah firman Allah Al Khaliq dan tutur-kata Rasul-Nya. Pada masa hidupnya tidak sedikit orang datang kepadanya untuk menimba ilmu berkhutbah dan ilmu menulis.
Abdul Hamid bin Yahya, seorang ilmuwan dan penulis Islam yang masyhur itu, sampai berkata sambil membanggakan diri, bahwa ia mempunyai kumpulan khutbah-khutbah Imam Ali sebanyak 70 perangkat. “Dan itu masih bertambah terus,” katanya. Akan tetapi Abdul Hamid itu masih kalah unggul dibanding dengan Ibnu Nubatah, yang nama sebenarnya ialah Abdurrahman bin Muhammad bin Ismail Al-Fariqiy Al-dudzamiy. Ia mengatakan: “Aku menyimpan setumpuk khutbah-khutbahnya. Sampai sekarang masih bertambah terus jumlahnya. Aku menyimpan 100 bab dari wejangan-wejangan Imam Ali bin Abi Thalib.”
Kecakapan Imam Ali r.a. menyusun pidato sangat membantu para peneliti sejarah Islam, khususnya sejarah perjuangan Imam Ali r.a. sendiri, dalam menghimpun data-data dan fakta-fakta. Dibanding dengan khutbah-khutbahnya, khutbah-khutbah yang pernah diucapkan oleh para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. lainnya, belum ada sepersepuluhnya, seandainya semua itu hendak dikumpulkan. Seorang penulis dan sejarawan klasik Islam, Abu Utsman Al-Jahidz menegaskan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Bayan wat Tabyin.
Tauhid
Ilmu Tauhid atau ilmu Kalam adalah ilmu yang paling banyak dikejar dan diselami oleh kaum muslimin yang berminat mendalami hakikat Islam. Ilmu Tauhid merupakan induk ilmu-ilmu agama Islam, karena ilmu tersebut menyangkut masalah ke-Tuhan-an. Kecuali itu, karena luhur dan tingginya nilai suatu ilmu pengetahuan terletak pada sasaran ilmu itu sendiri.
Ilmu ke-Tuhan-an yang sasarannya adalah Dzat Yang Maha Agung, tidak bisa tidak pasti merupakan ilmu yang paling tinggi mutu dan nilainya. Kaum awam dan para ahli yang menekuni ilmu yang mulia itu, hampir tak ada yang meragukan bahwa ilmu tersebut dikuasai dengan baik sekali oleh Imam Ali r.a. Bahkan pribadinya sendiri di belakang hari dijadikan sumber penggalian dan pembahasan ilmu tersebut, yakni ilmu Tauhid.
Kaum Mu’tazilah yang juga dikenal dengan sebutan Ahlut Tauhid Wal ‘Adl, para ahli ilmu qalam, dan para ahli fikir lainnya, jika diusut sumber ilmu pengetahuannya masing-masing, akhirnya pasti akan bertemu pada pribadi dan pemikiran Imam Ali r.a. Sebagai ilustrasi dan sekaligus pembuktian dapat dikemukakan, bahwa tokoh utama kaum Mu’tazilah yang bernama Washil bin ‘Atha, dasar-dasar ilmu pengetahuannya berasal dari Imam Ali r.a. Sebab tokoh Mu’tazilah itu menimba ilmu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad Ibnul Hanafiyah. Hasyim memperoleh ilmu dari ayahnya sendiri, yaitu Muhammad Ibnul Hanafiyah. Sedang Muhammad Ibnul Hanafiyah bukan saja murid, melainkan ia adalah putera Imam Ali r.a. sendiri, yakni saudara Al Hasan dan Al Husein r.a. dari lain ibu.
Kaum Asy’ariy yang asalnya adalah para siswa Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Al Asy’ariy, ilmu pengetahuan mereka didapat dari Abul Aliy Al-Juba-iy. Bagi orang yang mendalami ilmu Tauhid dan meneliti asal-usul sejarahnya, pasti mengetahui bahwa Abul Aliy Al-Juba-iy itu ialah seorang tokoh sangat terkenal di kalangan kaum Mu’tazilah. Sedang kaum Mu’tazilah itu memperoleh ilmu mereka dari Imam Ali r.a., seperti yang kami sebutkan di atas tadi. Mengenai kaum Syi’ah, baik golongan Zaidiyyah maupun golongan Imamiyyah, sumber ilmu pengetahuan mereka tak usah dipersoalkan lagi. Sudah pasti dari tokoh pujaan mereka yang paling utama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Fiqh
Orang yang paling lembut hatinya dan paling ramah di kalangan ummatku ialah Abu Bakar. Demikian diungkapkan oleh Rasul Allah s.a.w. Sedang yang paling keras membela agama ialah Umar Ibnul Khattab. Yang paling pemalu adalah Utsman bin Affan. Adapun Ali, ajar Rasul Allah s.a.w. seterusnya, ialah yang paling tahu tentang hukum.
Pernyataan Rasul Allah s.a.w. tersebut merupakan masnad bagi uraian Abu Ya’la, sebagaimana tercantum dalam kitab karya seorang penulis kenamaan As-Sayuthiy, yang berjudul Al Jami’us Shaghir (jilid I halaman 58). Yang dimaksud dengan hukum bukan lain ialah hukum Islam, yaitu Fiqh. llmu Fiqh merupakan salah satu cabang penting dari ilmu agama Islam.
Ilmu yang bersangkut-paut dengan semua ketentuan hukum Islam itu jelas sekali berpangkal antara lain dari Imam Ali r.a. Boleh dibilang semua ahli Fiqh di kalangan kaum muslimin menimba dan mengambil dasar-dasar ilmu pengetahuannya masingmasing dari Fiqh Imam Ali. Rekan-rekan dan para pengikut Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan sebagainya, semua berguru kepada Abu Hanifah.
Seorang ahli Fiqh terkemuka yang madzhabnya dianut oleh ummat Islam Indonesia, Imam Syafi’iy, adalah murid Muhammad bin Al Hasan yang ilmunya berasal dari Abu Hanifah.
Tokoh pertama madzhab Hanbaliy, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, adalah murid kinasih dan terkemuka dari Imam Syafi’iy. llmu pengetahuan yang ditimbanya sudah tentu sama seperti ilmu yang didapat oleh Imam Syafi’iy sendiri, yaitu berasal dari Imam Abu Hanifah.
Tokoh besar ilmu Fiqh, Abu Hanifah, menimba ilmu pengetahuan dari Ja’far bin Muhammad Ibnul Hanafiyah. Ja’far adalah murid ayahnya sendiri, sedangkan ayahnya itu ialah murid dan putera Imam Ali.
Tokoh pertama madzhab Malikiy, yaitu Imam Malik bin Anas, pun demikian juga. Ia menimba ilmu pengetahuan tentang Fiqh dari Abdullah Ibnu Abbas. Sedangkan Abdullah Ibnu Abbas sendiri diketahui dengan pasti bukan lain adalah murid Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Kalau ada yang mengatakan bahwa ilmu Fiqh Imam Syafi’iy berasal dari Imam Malik, pangkal dan sumber pokoknya berasal juga dari Imam Ali.
Fakta-fakta tersebut mengungkapkan kenyataan, bahwa 4 orang Imam Fiqh atau tokoh-tokoh pertama empat madzhab Fiqh di seluruh dunia Islam sekarang ini, ilmu pengetahuan Fiqhnya masing-masing berasal dari Imam Ali r.a. Tentu saja tak perlu diragukan lagi, bahwa ilmu Fiqh yang ada di kalangan kaum Syi’ah pasti berasal dari Imam Ali. Seorang tokoh besar Islam lainnya, Umar Ibnul Khattab r.a., dikenal dan diakui sebagai seorang yang banyak memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Namun ia tidak lepas dari pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hal ini diakui sendiri olehnya ketika mengatakan: “Tanpa Ali celakalah Umar!” Bahkan Khalifah yang terkenal keras, tegas, tetapi bijaksana dan arif itu pernah juga mengucap-kan “Tidak ada kesukaran (hukum) yang tak dapat dipecahkan oleh Abul Hasan (Imam Ali).”
Waktu melukiskan bagaimana wibawa dan wewenang Imam Ali dalam menetapkan fatwa hukum, Khalifah Umar r.a. juga menegaskan: “Tidak ada seorang pun di dalam masjid yang dapat memberikan fatwa hukum, bila Ali hadir.”
Penguasaan, penafsiran dan penerapan hukum Islam oleh Imaln Ali r.a. dilakukan secara tepat dan diakui kebenarannya oleh Rasul Allah s.a.w. Hal itu dibuktikan dengan diangkatnya Imam Ali –pada masa itu– sebagai qadhi (hakim) di Yaman. Ketika melepas saudara misan kesayangannya itu Rasul Allah s.a.w. sempat berdoa: “Ya Allah, bimbinglah hatinya dan mantapkanlah ucapannya.” Sebagai tanggapan terhadap harapan Rasul Allah s.a.w. itu Imam Ali r.a. berkata: “Mulai saat ini aku tidak akan ragu-ragu lagi mengambil keputusan hukum yang menyangkut dua belah fihak.”
Di antara banyak yurisprudensi, keputusan-keputusan hukum, yang dilahirkan oleh pemikiran Imam Ali r.a. ialah yang menyangkut kasus perkara sebagai berikut: Kasus seorang isteri yang melahirkan anak, padahal ia baru enam bulan menikah dengan suaminya. Yaitu suatu penetapan hukum yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. berdasarkan Surah Al-Ahqaf ayat 15. Juga Imam Ali-lah yang menetapkan fatwa hukum Islam tentang wanita hamil karena perbuatan zina. Memecahkan masalah hukum Faraidh yang pelik dan rumit, yaitu hukum tentang pembagian harta waris, Imam Ali r.a. sanggup melakukannya dengan cepat dan tepat. Yurisprudensi ini lahir dari satu kasus yang terkenal dalam sejarah Fiqh dengan nama “Kasus Minbariyyah”. Kasus ini menarik para ahli hukum Islam maupun non Islam. Peristiwa ini terjadi ketika Imam Ali r.a. sedang berkhutbah di atas mimbar, tiba-tiba ada seorang bertanya tentang hukum yang berkaitan dengan pembagian waris antara dua orang anak perempuan, dua orang ayah dan seorang perempuan. Seketika itu juga dan hanya dalam waktu beberapa detik saja, tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. menjawab: “Seperdelapan yang menjadi hak perempuan itu berubah menjadi sepersembilan!”
Dihitung secara matematik dan ditinjau dari sudut keadilan dan kebijaksanaan berdasarkan Al-Qur’an, fatwa hukum Imam Ali r.a. tersebut mencapai record dalam memecahkan kasus pembagian harta waris yang amat pelik dan rumit. Seorang ahli hukum Faraidh sendiri, walau dengan bantuan alat kalkulator, baru dapat menemukan angka yang disebutkan oleh Imam Ali r.a. kalau sudah menghitung-hitung dahulu selama beberapa saat. Masalah itu memang merupakan masalah matematika yang cukup ruwet. Tetapi menurut kenyataan, fatwa Imam Ali r.a. yang diambil dalam waktu beberapa detik itu setelah diuji dan diteliti secermat-cermatnya berdasarkan hukum Al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah s.a.w., terbukti benar dan tepat. Jelaslah hanya orang yang betul-betul menguasai dasar-dasar hukum Fiqh sampai sedalam-dalamnya sajalah yang dapat memberikan jawaban secepat itu!
Tafsir
Bagi orang awam, bahkan kaum ahli sekalipun, selalu menjumpai kenyataan bahwa tafsir Al-Qur’an banyak sekali kaitannya dengan nama seorang ulama besar, Abdullah Ibnu Abbas. Ulama ini memang terkenal sekali sebagai seorang ahli tafsir Al Qur’an. Abdullah Ibnu Abbas juga seorang ulama yang dipercaya oleh Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. untuk memberikan penafsiran tentang sesuatu ayat Al-Qur’an.
Sungguhpun demikian, ketika Abdullah Ibnu Abbas ditanya orang, bagaimana perbandingan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh “putera paman anda” (Imam Ali r.a.), jawabnya sederhana saja: “Perbandingannya seperti setetes air hujan dengan air samudera!” Jawaban itu tidak mengherankan. Bukan hanya karena ia rendah hati, melainkan juga karena ia adalah murid Imam Ali r.a. sendiri. Dalam ilmu tafsir, nama dua orang itu hampir tak pernah pisah sama sekali.
Benar sekali penyaksian Abu Fudhail yang mendengar sendiri Imam Ali r.a. berkata dari atas mimbar: “Tanyakanlah kepadaku selama aku ada. Apa saja yang kalian tanyakan, aku sanggup menjawab. Tanyakanlah tentang Kitab Allah. Demi Allah, tak ada satu ayat pun yang aku tidak mengetahui, apakah ayat itu turun di waktu siang ataukah di waktu malam, di datarankah atau di pegunungan.”
Kata-kata Imam Ali r.a. itu bukan menunjukkan kesombongan, tetapi karena ia tampak jengkel melihat ada orang yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan semena-mena. Dan apa yang diucapkannya itu bukan kata-kata hampa yang tidak berbukti.
Menurut Ibnu Abil Hadid, Al-Madainiy meriwayatkan, bahwa dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. pernah berkata: “Seandainya ada yang mengadu kepadaku karena bantalnya dirobek orang, aku akan mengambil keputusan hukum. Bagi ahli Taurat berdasarkan Tauratnya, bagi ahli Injil berdasarkan Injilnya, dan bagi ahli Al-Qur’an berdasarkan Qur’an-nya!”
Sungguh besarlah nikmat Allah yang dilimpahkan kepada putera Abu Thalib yang telah menerima asuhan dan pendidikan manusia terbesar sepanjang sejarah, Nabi besar Muhammad s.a.w.! Tidak keliru kalau tiga orang Khalifah sebelumnya memandang Imam Ali r.a. sebagai penasehat ahli yang sama sekali tak dapat ditinggalkan fatwa-fatwanya.
Tilawatil Qur’an
Bagi Imam Ali r.a. ilmu Tilawatil Al-Qur’an merupakan ilmu yang paling pertama kali diteguk dan diperolehnya langsung dari Rasul Allah s.a.w. sejak berusia muda belia. Ialah orang yang paling tahu bagaimana Rasul Allah s.a.w. membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Sejak Rasul Allah s.a.w. masih hidup, Imam Ali r.a. sudah dikenal sebagai orang pertama dan yang paling dini menghafal Al-Qur’an. Kedudukannya yang sangat dekat dengan Rasul Allah s.a.w. dan kecerdasannya membuat Imam Ali r.a. dapat menguasai dengan sempurna ilmu Tilawatil Qur’an.
Ada kesepakatan di kalangan para penyusun riwayat, bahwa di samping menguasai pengertian dan tafsir Al-Qur’an secara baik, Imam Ali r.a. juga diakui sebagai seorang ahli ilmu Tilawah. Keahlian dan kecakapannya di bidang ini sangat membantu usaha menghimpun ayat-ayat suci Al-Qur’an di kemudian hari. Dalam pekerjaan yang maha besar itu sumbangan dan peranan Imam Ali r.a. sangat menentukan keberhasilannya.
Sebagaimana diketahui, setelah Rasul Allah s.a.w. wafat, Abu Bakar Ash Shiddiq meneruskan kepemimpinan beliau atas ummat Islam. Di kala itu terjadi peperangan-peperangan untuk menumpas kaum pembangkang zakat dan gerakan kaum murtad, serta oknum-oknum petualang yang mengaku diri sebagai “nabi”. Dengan terjadinya konflik-konflik tersebut para sahabat yang hafal ayat-ayat suci Al-Qur’an makin berkurang jumlahnya karena banyak yang gugur di medan tempur. Terdorong oleh kekhawatiran habisnya para sahabat yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an, atas usul Umar Ibnul Khattab r.a., Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit supaya segera mengkodifikasi wahyu suci. Tugas raksasa ini memerlukan ketekunan, kesabaran, ketelitian, kecermatan dan kejujuran. Dalam pekerjaan mulia ini, Zaid bin Tsabit dimudahkan antara lain oleh sumbangan Imam Ali r.a. yang tak ternilai besarnya.
Jika ditelusuri sejarah ilmu Tilawatil Qur’an, maka akan ditemukan kenyataan bahwa para Imam dan para ahli Tilawah semuanya menimba ilmu dari sumbernya yang pertama, yaitu Imam Ali r.a. Ambil saja sebagai misal, Abu Umar bin Al-A’laa, ‘Ashim bin Najd dan sebagainya. Mereka semua berasal dari perguruan Abu Abdurrahman As-Sulamiy Al-Qari. Sedangkan Abu Abdurrahman ini tak lain adalah murid Imam Ali r.a. sendiri, yang belajar langsung dari gurunya itu.
Sebagai orang yang hidup taqwa dan menguasai Al-Qur’an baik lafadz maupun maknanya, Imam Ali r.a. memandang Al-Qur’an sebagai satu-satunya juru selamat bagi manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan pandangannya terhadap Al-Qur’an, Imam Ali r.a. antara lain berkata:
“Kalian wajib mengetahui, bahwa Al-Qur’an itu adalah nasehat yang tak pernah palsu, pembimbing yang tak pernah sesat, dan pembicara yang tak kenal dusta. Tiap orang yang duduk membaca Al-Qur’an, ia pasti memperoleh tambahan atau pengurangan, yaitu tambahan hidayat atau pengurangan ketidak-tahuan. Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih unggul dan lebih tinggi bagi seseorang daripada Al-Qur’an.”
“Oleh karena itu sembuhkanlah penyakit kalian dengan Al-Qur’an, dan dengan Al-Qur’an mohonlah pertolongan kepada Allah untuk mengatasi kesukaran kalian. Dalam Al-Qur’an terdapat obat penyembuh bagi penyakit yang paling parah, yaitu penyakit
kufur, kemunafikan dan kesesatan. Mohonlah kepada Allah dengan Al-Qur’an dan dengan mencintai Al-Qur’an hadapkanlah diri kalian ke hadirat-Nya. Janganlah dengan Al-Qur’an kalian meminta sesuatu kepada makhluk Allah. Semua hamba Allah tidak dapat menghadapkan diri kepada-Nya melalui sesama makhluk.
“Dan ketahuilah, bahwa Al-Qur’an adalah pemberi syafa’at yang benar-benar dapat diharapkan. Juga merupakan pembicara terpercaya. Barang siapa memperoleh syafa’at dari Al-Qur’an pada hari kiyamat, berarti ia memperoleh syafa’at yang sejati. Dan Barang siapa yang dinilai buruk oleh Al-Qur’an, pada hari kiyamat ia tidak akan dipercaya. Pada hari kiyamat akan terdengar suara berseru: ‘Bukankah orang yang berbuat akan diuji dengan perbuatannya sendiri dan akan diuji pula oleh akibat dari perbuatannya itu, kecuali orang yang berbuat menurut ajaran Al-Qur’an?”
“Oleh sebab itu jadilah kalian orang-orang yang berbuat sesuai dengan Al-Qur’an dan mengikuti ajaran-ajarannya. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai penasehat bagi diri kalian. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai pembimbing fikiran dan pendapat kalian, dan jadikanlah Al-Qur’an sebagai pencegah hawa nafsu!”
Demikianlah pandangan hidup seorang bapak ilmu Tilawatil Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ilmunya menghayati pandangan hidupnya dan pandangan hidupnya mengarahkan penerapan ilmunya. Dan itulah yang menjadi hakekat dasar ilmu Tilawatil Qur’an.
Tarikat
Ilmu Tarikat pun tidak lepas kaitannya dengan Imam Ali r.a. sebagai sumber sejarahnya. Di kalangan para ahli Tarikat, Imam Ali r.a. diakui sebagai tokoh puncaknya. Semua ilmu Tarikat, Hakikat dan Tashawuf bersumber pada pemikiran-pemikiran Imam Ali r.a.
Sebagai putera asuhan, sejak berusia 6 tahun, Imam Ali r.a. selalu berada di dekat Rasul Allah s.a.w., hampir tak pernah pisah. Sedangkan Rasul Allah s.a.w. sendiri pada saat menerima Ali bin Abi Thalib dalam tanggung jawabnya, tengah mengalami satu proses yang luar biasa. Dari segi kemanusiaannya, terutama kerohaniannya, beliau sedang diproses oleh Al-Khaliq untuk diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Pada saat itulah Muhammad s.a.w. melakukan kontemplasi (tafakur), perenungan dan dialog dalam fikiran batin.
Beliau melakukan penyepian (khalwat) di bukit-bukit dan gua-gua sekitar kota Makkah. Suatu proses yang berlangsung hebat sekali dalam hati nurani beliau. Dengan prihatin dan jiwa yang bersih disertai pula dengan pandangan batin yang tajam beliau menyaksikan ketidak-benaran dan ketimpangan-ketimpangan tata kehidupan masyarakat dan keagamaan yang dihayati oleh masyarakat jahiliyah masa itu. Hatinya terketuk melihat kerusakan-kerusakan dan dekadensi yang menimpa kehidupan masyarakat. Tetapi kalau hanya menyalah-nyalahkan atau mencela saja tidak akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat yang sedang sesat dan bobrok itu. Alternatif lain, penggantinya, harus ada. Semuanya itu berkecamuk dalam hati beliau s.a.w.
Sejak usia dini beliau sudah kritis dalam memandang kehidupan lingkungannya. Sejak kecil beliau belum pernah hanyut terbawa oleh arus adat, kebiasaan dan kepercayaan jahiliyah. Imam Ali r.a. menyaksikan sendiri saudara pengasuhnya itu menempuh cara hidup keduniawian dan kerohanian yang sangat jauh berbeda dari kebiasaan umum yang lazim berlaku pada masa itu.
Dengan kepatuhan seorang anak yang ditanggapi secara tepat oleh seorang dewasa, terjadilah suatu jalinan perpaduan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muhammad s.a.w. dalam periode beliau sedang menghadapi proses pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul pembawa kebenaran Allah s.w.t. Tak ada bagian-bagian proses itu yang lewat dari penyaksian Imam Ali bin Abi Thalib. Ia selalu mengikuti ke mana saja saudara pengasuhnya itu pergi dan memperhatikan benar-benar apa saja yang dilakukan oleh beliau s.a.w. Ia mencontoh gaya hidup jasmani dan rohani, termasuk cara-cara beribadah sebelum kenabian beliau.
Suara yang berupa ajaran dan wejangan Rasul Allah s.a.w. dan cahaya kebenaran Allah s.w.t. yang menerangi jiwa beliau diserap oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Hakekat kebenaran Allah ‘Azza wa Jalla yang ditemukan dan difahami oleh saudara pengasuhnya selama prosesnya yang bertahun-tahun itu, diikuti, diterima dan dihayati oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Itulah antara lain yang memperkuat dasar mengapa Imam Ali r.a. berhak menyandang gelar sebagai Bapak ilmu Tarikat, Hakekat, atau Tashawuf.
Mengenai ilmu di bidang ini, tokoh-tokoh terkemuka kaum Tarikat seperti Asy Syibliy, Al-Junaid, Al-Asyariy, Abu Yazid Al-Bistamiy, Abu Mahfudz yang terkenal dengan nama Al-Khurqiy, dan lain sebagainya, semua mengakui Imam Ali r.a. sebagai tokoh puncak mereka.
Cara dan gaya hidup Rasul Allah s.a.w., mulai dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, hampir seluruhnya dijadikan tauladan oleh Imam Ali r.a. Oleh karena itulah ia bukan saja hidup sebagai seorang ilmuwan yang mencakup banyak bidang, melainkan juga seorang yang hidup penuh taqwa dan menempuh cara hidup zuhud. Ia tidak risau atau terpengaruh oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Bahkan sampai menjadi Khalifah pun cara hidup yang seperti itu dipertahankan sebagai sesuatu yang sudah manunggal dengan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Rabbul’alamin.
Al-Kahfi
Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi, yang terjemahannya sebagai berikut: “Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung di dalam gua, kemudian mereka berdoa: “Wahai Allah, Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu” Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lehih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mataair itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa niendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kaukatakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan kuhadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini kudapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata:
“Ah, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah tempat ibadah di pintu guha itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman, yang artinya: “Orang-orang yang telah memenangkan urusan mereka berkata: ‘Kami hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas mereka” (S. Al Kahfi: 21).
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
Penanggalan Hijriyah
Selain ilmu pengetahuan yang mencakup berbagai bidang, Imam Ali r.a. juga banyak melahirkan prakarsa-prakarsa yang dipersembahkan kepada kepentingan kaum muslimin dan kejayaan Islam. Ada satu prakarsanya yang tak mungkin dapat dilupakan sepanjang sejarah oleh seluruh generasi ummat Islam sampai hari akhir kelak. Meskipun hampir tiap hari hasil prakarsa itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tetapi banyak di antara mereka sendiri yang belum mengetahui, bahwa yang dimanfaatkannya itu berasal dari Imam Ali r.a. Yaitu penanggalan Hijriyah.
Dalam kitab Tarikh yang ditulis oleh At-Thabariy disajikan sebuah riwayat yang berasal dari Sa’id bin Al-Mushib, yang menyatakan, bahwa pada satu hari Khalifah Umar Ibnul Khattab mengumpulkan sejumlah pemuka kaum muslimin untuk merundingkan masalah penanggalan Islam. Kaum muslimin dan Khalifah Umar r.a. berpendapat tentang perlunya diadakan penanggalan tersendiri, agar kaum muslimin tidak lagi mengikuti penanggalan kaum Nasrani dan Yahudi. Betapa tragisnya kalau kaum muslimin yang sudah dewasa itu masih juga mempergunakan penanggalan Ahlul Kitab. Tetapi keinginan yang baik itu terbentur pada jalan buntu karena tidak berhasil menemukan kapan penanggalan Islam itu harus dimulai.
Di saat mereka sedang menghadapi kesukaran itu datanglah Imam Ali r.a. Bukan main gembiranya Khalifah Umar r.a. melihat Imam Ali r.a. datang. Segera saja disambut, kemudian kepadanya diajukan pertanyaan tentang bagaimana sebaiknya penanggalan Islam itu dimulai.
Tanpa banyak fikir lagi Imam Ali r.a. menjawab: “Tetapkan saja mulai hari hijrahnya Rasul Allah s.a.w., yaitu hari beliau meninggalkan tanah syirik!”
Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang cepat dan tepat itu Khalifah Umar r.a. dengan serta merta memeluk Imam Ali r.a. diiringi oleh gegap gempitanya sambutan gembira kaum muslimin yang hadir. Khalifah Umar r.a. menerima sepenuhnya pendapat Imam Ali r.a. tersebut, dan mulai hari itu jugalah ditetapkan berlakunya penanggalan Hijriyah bagi kaum muslimin.

Rabu, 09 Februari 2011

Khutbah bahasa sunda judu syukur binni'mat

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اَلْحَمْدُ للهٍ الذى نَزَّلَ اْلفُرْقَانَ عَلَى عِبَادِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَِميْنَ نَذِيْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لآ اِلهَ الله وَحْدَهُ لآشَرِيْكَ لَهُ الذِى خَلَقَ اْلِأنْسَانَ فىِ أَحْسَنِ تَقْوِيمْ. وأَشهد أن محمدا عبدُه ورسولُه اْلهَادِى الى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ مَنْ سَلَكَهُ فَازَ بِالعِزِّ وَالنَّعِيْمِ اْلمُقِيْمِ ومن حَادَ عَنْهُ رُمِىَ بِهِ فِى اْلجَحِيْمِ. والصلاةُ والسلامُ على سيِّدِ اْلخَلْقِ مُحمدِابْنِ عَبْدِاللهِ وعلى أله وأصحابه الذين جَاهَدُوْا فى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ فَكَانُوْا أَحِقَّاءَ بِالنَّعِيْمِ اْلمُقِيْمِ. أمابعد:
puji anu jadi mimiti laksana kembang jati anu mangkrak dina ati,kersaning gusti anu maha suci..........puja anu jadi pangbubuka carita ibarat kembang kamboja anu mangkrak dina dada,kawasaning gusti anu maha kawasa...........syukur anu jadi bahan catur lir ibarat buah anggur anu jadi panglipur,kersaning gusti anu maha ghopur.....
sholawat salam mugia ditetepkeun ka panutan alam junjunan ummat isla,habibana wanabiyyana muhammad saw.
hadirin rohimakumulloh.......
lamun urang sadar tina kasampurnaan diri anu parantos dipaparinkeun kunu maha suci,tangtuna urang bakal loba naliti,,iraha mimiti ayana diri?...timana asalna diri?...jeung kamana balikna diri?...oge saha anu ngayakeun diri?....
lamun pemikiran urang geus tepi ka palihan dinya,saeutik-saeutik urang bakal bisa mensyukuri mangrupa-rupa ni'mat anu dipaparinkeun ku gusti.
conto nu aya dina diri :......
"urang dipaparin cepil ku alloh kumplit jeung bisa ngupingna,coba lamun ngan saukur rebing wungkul tapi teu bisa ngadenge,kapan mubadzir,disebut asesoris da lain,,kumargi sakitu,urang nu sakiyeu sampurnana kudu bisa syukuran nana,,kumaha carana?....enteng kacida,carana manfaatkeun eta ceuli jeng pangdengena dina jalan anu dipikaridho ku alloh"misalna : dipake ngupingkeun ayat-ayat alloh,ngupingkeun pangajian jeung sabangsana..
Naon margina?...margi lamun urang teu bisa syukuran kana eta ni'mat eusina urang geus kupuran kana eta ni'mat,alhasil lamun urang kupuran kana ni'mat alloh mak saur alloh dagoan siksa ti kami anu kacida bangetna...
Dauhan Alloh dina Al-qur'an :
"LAIN SYAKARTUM LA AZIDANNAKUM WALAIN KAFARTUM INNA ADZABII LASYADID"
Hartosna:lamun aranjeun syukuran kana ni'mat kami maka kami rek nambahan kana eta ni'mat,,tapi sabalikna lamun aranjeun teu syukuran kana ni'mat kami,maka dagoan siksa kami anu banget.
Hadirin rohimakumulloh,,,,,
Kumargi kitu,hayu urang sasarengan di ajar syukuran supaya urang sadayana dipaparin kaberkahan dina ngajalani ieu kahirupan,,,amiin ya robbal alamin.
Tikawit dugi ka akhir hapunten anu kasuhun
Akhirul-kalam ASSALAMU'ALAIKUM WR,WB

Rabu, 02 Februari 2011

fikih

MAKANAN DAN MINUMAN YANG HALAL DAN YANG HARAM

Makanan yang Halal

Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 17). “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168). “Menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157).

Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu’min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Ta’ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian…”. (HR. Muslim)

Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).

Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :

Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan.
Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah.
Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.

Makanan yang Haram

Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.

Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah : Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 145 : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah : 3). “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am : 145)

Catatan :

semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang.
semua darah haram kecuali hati dan limpa.

Semua makanan yang keji, yaitu yang kotor, menjijikan. “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)

Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah. “Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf : 33).

Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup. Sabda Nabi SAW : “Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai”. (HR. Ahmad)

Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.

Minuman yang Halal

Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian : Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah.

Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.

Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis.

Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Minuman yang Haram

Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya. Allah berfirman : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah : 219)

Dalam ayat lain Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90)

Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Turmudzi).

Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.

Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halan atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Sumber: http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/FIQIH MUAMALATMakanan dan Minuman yang Halal dan yang Haram.htm
Semua hal beralkohol dalam tinjauan Fiqih

Perkembangan sains dan teknologi atau disebut juga dengan era global, semenjak awal kelahirannya hingga sekarang, nampaknya sudah tidak bisa dibendung lagi khususnya pada budaya makanan dan minuman. Keberadaan masalah makanan dan minuman sudah mulai tercabut dari akar nilai-nilai yang seharusnya, sehingga makanan dan minuman bukan lagi menjadi kebutuhan mendasar manusia, akan tetapi telah merambah pada jaringan-jaringan persepsi budaya yang tidak jelas akan pijakannya.

Islam memandang bahwa makanan sebagai faktor yang amat penting dalam kehidupan seseorang, karena mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan jasmani dan ruhaninya. Karena itu, dalam ajaran Islam terdapat garis-garis aturan yang sangat rinci dan detail, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Mulai dari tata cara makan dan tata cara minum (adab atau etika makan dan minum), sampai mengatur idealitas kuantitas makanan di dalam perut. Juga termasuk persoalan apa yang dimakan dan diminum, dalam Islam bukan hanya sekedar dirasakan enak, sedap dan bergizi, melainkan yang lebih prinsip lagi adalah keberadaan hukumnya; apakah halal atau haram. Merupakan prinsip dasar islam bahwa seorang muslim wajib mengikat perbuatannya dengan hukum syara’ sebagai konsekuensi keimanannya pada islam. Sabda rasulullah SAW, “tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (islam)” hadis riwayat Baghawi. Maka dari itu, sudah seharusnya seorang muslim wajib mengetahui halal haramnya perbuatan yang dilakukan dan benda-benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, status hukum dari makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik, yang memungkinkan terdapat kandungan zat-zat yang membuatnya menjadi haram, salah satunya yaitu apabila didalamnya terdapat khamr. Menurut para kimiawan zat yang memiliki sifat memabukan dalam khamr, yaitu berupa senyawa kimia yang bernama etil alkohol atau etanol (C2H5OH).

Penulis mengangkat tema ini, dengan didasari terhadap fakta, yaitu semakin berkembangnya zaman yang serba kapitalis-sekuler. Dimana sistem ini berdiri di atas manfaat, yang tidak sama sekali memperdulikan halal haramnya makanan. Semoga makalah ini, dapat memberikan jawaban atas keraguaan kita terhadap status hukum alkohol dalam pandangan fiqih islam.

Status hukum makanan dan minuman dalam nash Al-Qur’an.

Di dalam surat Al-Maidah ayat 88: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.

Dan di dalam surat dan di dalam surat Al-Maaidah ayat 90: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Dari kedua ayat di atas sudah sangat jelas bahwa Allah SWT menyuruh agar kita memakan makanan dan meminum minuman yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya. Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman di luar yang diharamkan adalah halal.

Pengertian Khamr

Khamr dalam pengertiaan bahasa arab (makna lughawiyah) ”menutupi”. Disebut khamr karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan dalam pengertian syara’ khamr adalah setiap minuman yang memabukkan. Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur ataupun lainnya. Pengertian ini disimpulkan berdasarkan beberapa hadis Nabi SAW. Di antaranya adalah hadis dari Nu’an bin Basyir ra bahwa rasulullah bersabda: ” sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat dari khamr, jewawut itu terbuat dari khamr, dari kismis terbuat dari khamr, dari kurma terbuat dari khamr, dan dari madu terbuat dari khamr” (HR. Jama’ah, kecuali An Nasa”). Kemudiaan hadis dari Ibnu Umar ra Rasulullah bersabda: ”setiap yang memabukkan itu adalah khamr, dan setiap khamr itu haram”. (HR. Muslim).

Dari keterangan beberapa hadis di atas menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas terbuat dari perasan anggur, tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkan. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal disebut khamr, baik itu terbuat dari anggur, gandum, kiwi, madu, kurma ataupun lainnya. Sifat mengacaukan akal itu di antaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membut orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa: 43: ”Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Berarti hal ini merupakan pengertian syari’ yang disampaikan Rasul dalam hadis-hadisnya. Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara hadis diatas menyatakan ”setiap yang memabukkan itu adalah khamr”, jadi dapat disimpulkan bahwa sifat yang, melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka mengetahui keberadaan zat khamr atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memmiliki sifat memabukkan. Kini setelah dilakukan penelitian fakta oleh para kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memiliki sifat yang memabukkan dalam khamr adalah etil alkohol atau etanol.

Pengertiaan Alkohol

Etil alkohol atau etanol atau alkohol (C2H5OH) adalah senyawa-senyawa dimana satu atau lebih atom hidrogen dalam sebuah alkana digantikan oleh gugus –OH. Biasanya alkohol di peroleh atas peragian / fermentasi madu, gula, sari buah atau umbi-umbian. Dari peragian tersebut dapat diperoleh alkohol sampai 15 % tetapi peroses penyulingan (destilasi) dapat dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi bahkan mencapai 100 %.

Status hukum alkohol dalam makanan-minuman, obat-obatan dan kosmetik dalam pandangan fiqih islam.
Kandungan alkohol dalam makanan-minuman

Alkohol dalam bentuk khamr (minuman beralkohol) banyak dijumpai sebagai campuran dalam makanan dan minuman. Hukum menggunakan alkohol sebagai campuran makan dan minuman ini adalah haram, karena termasuk pemanfaatan benda najis yang telah diharamkan oleh islam. Memanfaatkan benda najis adalah masalah khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun pendapat yang rajih (kuat) adalah mengharamkan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT di dala surat Al-Maidah ayat 90, di dalam ayat tersebut ada kata ”fajtanibuuhu” yang artinya jahuilah najis itu. Maka untuk memanfaatkan benda najis itu haram hukumnya, sebab allah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW : ” sesungguhnya kami (para sahabat) berada di negeri Al kitab, mereka memakan babi dan meminum khamr, apa yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasul menjawab, ”apabila kamu tidak menemukan lainnya maka cucilah dengan air, lalu memasaklah didalamnya dan minumlah” (HR. Ahmad dan abu Dawud). Perintah untuk mencuci bejana wadah khamr dan periuk wadah daging babi, itu menunjukan bahwa kedua benda tersebut tidak suci. Sebab apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi tidak akan menyuruh untuk mencucinya. Berikut paparan fakta mengenai keberadaan alkohol dalam berbagai makanan dan minuman:

v Khamr sebagai penyedap makanan

Di kenal arak sebagai penyedap masakan Cina, Jepang, Korea dan masakan lokal yang berorientasi khamr, misalnya Ang Chiu atau Lo wong Chiu atau Cooking Wine, digunakan sebagai penyedap masakan, berguna untuk mempersedap masakan daging, tim ayam, sea food dan sayur mayur. Atau anggur Beras Putih, sebagai rendaman obat thionghoa dan berbagai masakan.

v Khamar dalam Kue Ultah.

Khamr di dalam kue, umumnya kue impor dari barat seperti Black Forest, Vla di Sus, Rum Balls dan Butter Rhum Cake yang mengandung ”rhum”. Rhum adalah nama dari minuman keras dengan kadar alkohol 30%. Cherry Nougat dan Brandy Snaps mengandung ”Brandy”. Chocolate Coffee Liquer mengandung ”liquer”.

v Khamr dalam masakan Bakar

Dalam masakan ikan bakar, daging panggang atau barbeque, khamr sering digunakan untuk melunakan daging dan menciptakan aroma khas. Khamr yang sering digunakan yaitu dari jenis arak putih atau anggur beras ketan.

v Khamr dalam Mie

Mie goreng degan berbagai rasa kadang-kadang ditambah khamr untuk mencitarasakan khamr guna menambah selera. Seperti mie goreng ayam, mie goreng see food, mie goreng udang dan seterusnya. Khamr yang biasanya digunakan adalah arak putih, arak merah atau mirin.

v Khamr dalam Campuran Minuman

Direstoran atau cafe-cafe sering ditawarkan beraneka ragam minuman dengan nama keren dan penampilan yang esentrik, misalnya Avacado fload, lemon squash, oranges dan minuman yang berkonotasi buah-buahan. Sebab tidak jarang di dalam minuman itupun di tambahkan Rhum atau minuman keras lainnya.

b. Kandungan Alkohol di dalam Obat-obatan

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada pendapat yang mengharamkan dan ada yang membolehkan dalam keadaan darurat dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini dicukupkan menjelaskan pendapat yang rajih, yakni yang menyatakan bahwa berobat dengan memanfaatkan benda najis dan haram hukumnya makruh, bukan haram. Syaikh Taqiyudin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah telah menjelaskan kemakhruhannya, dengan jalan mengkompromikan antara kedua kelompok hadis yang saling kontradiktif dalam masalah ini. Di satu sisi ada hadis-hadis yang yang melarang berobat dengan yang haram atau najis, misalnya hadis Rasulullah yang bersabda, ”sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu dari apa-apa yang diharamkan (HR. Bukhari dan Baihaqi dan disahikan ibnu Hibban).

Rasulullah SAW bersabda : ” sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang diharamkan.(HR. Abu Dawud). Disisi lain ada hadis yang membolehkan berobat dengan menggunakan benda najis dan haram, misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan menggunakan air kencing unta. Diriwayatkan oleh qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari suku ’ukl dan Urayanah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar Islam. lalu mereka terkena penyakit perut di madinah. Kemudian nabi memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum susu dan air kencingnya (HR Muslim). Menanggapi kedua kelompok hadis, yang saling bertentangan menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukan keharaman, tetapi sekedar menunjukan tuntunan untuk meninggalkan perbuatan. Dalam hal ini tuntunan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntunan ini apakah akan bersifat tegas sehingga hukumnya haram atau tidak tegas sehingga hukumnya makruh, masih membutuhkan dalil lain yang menunjukkan sifat tuntunan tersebut. Dua hadis diatas yang membolehkan dengan benda najis dan haram oleh An-Nabhani dijadikan petunjuk yang memperjelas sifat tuntunan tersebut adalah tuntunan yang tidak tegas. Sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram. Dengan demikian, jelas bahwa penggunaan alkohol meskipun najis dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumya makruh. Namun perlu dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT.

Atas dasar itu, maka menggunakan alkohol sebagai desinfektan klinis, sebagai pebersih kulit sebelum di injeksi, sebagai pelarut bahan obat, dan sebagainya. termasuk juga dalam hal ini segala macam benda najis di luar alkohol. Misalnya penggunaan bahan selongsong kapsul dari bahan babi, penggunaan urine sebagai saran terapi, dan sebagainya. Namun karena ada pendapat lain dari umat Islam mengharamkan menggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya atau sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia obat-obatan.
Kandungan alkohol dalam kosmetik.

Fungsi alkohol dalam kosmetik terutama parfum ada umumnya adalah sebagai pelarut dan digunakan diluar badan. Hukunya haram, sebab diatas telah dijelaskan bahwa etanol atau etil alkohol merupakan kategori benda najis dan haram. Memang benar, bahwa alkohol itu mudah menguap. Contoh setelah parfum digunakan di pakaiaan maka alkohol akan segera menguap dan tidak terdekteksi lagi. Adanya bau dari parfum yang digunakan adalah zat wanginya bukan alkoholnya. Pertanyaanya, apakah jika pada hasil akhir alkohol tidak terdeksi, berarti kita boleh menggunakan alkohol dalam proses tersebut ?

Hukumnya tetap haram, sebab ada tidaknya alkohol pada hasil akhir, bukanlah satu-satunya pertimbangan hukum. Yang juga menjadi pertimbangan, adalah tingkat pemanfaatan alkohol itu sendiri. Bukan hanya dilihat hasil akhirnya alkohol itu masih dapat dideteksi atau tidak. Padahal pemanfaatan alkohol haram, karena alkohol termasuk ke dalam kategori benda najis. Jadi pemanfaatan alkohol dalam parfum adalah haram, meskipun hasil akhirnya alkohol itu sudah tidak dapat dideteksi lagi. Jawaban ini juga berlaku untuk penggunaan bahan najis lainnya dalam bidang kosmetik. Misalnya penggunaan lemak babi sebagai bahan pembuat sabun atau cream anti kerutan.

Kesimpulan

Menurut para kimiawan zat yang memiliki sifat memabukan dalam khamr, yaitu berupa senyawa kimia yang bernama etil alkohol atau etanol (C2H5OH). Jadi sudah sangat jelas memanfaatkan alkohol didalam makanan, minuman dan kosmetik status hukumnya haram, sedangkan untuk digunakan di dalam dunia pengobatan status hukumnya makruh bukan haram.
Saran

Sebagai penutup, kiranya patut kita renungkan bersama bahwa masalah keberadaan alkohol dalam makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik telah menjadi salah satu persoalan kaum muslimin setelah mereka di kungkung oleh sistem sekuler yang kufur ini. Sistem tersebut sama sekali tidak memperdulikan halal dan haram, karena berdiri di atas asas manfaat. Akibatnya, kaum muslimin merasa kesulitan dalam memenuhi hajat hidunya, karena hampir semua segi kehidupan dipenuhi dengan kemaksiaatan dan keharaman. Termasuk membanjirnya produk-produk yang dilarang oleh syara’ baik makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik. Berbeda halnya jika kaum muslim hidup dibawah naungan Khilafah islam. sebuah sistem yang melindungi kau muslim dari berbagai jenis pelanggaran terhadap syariat Islam. termasuk akan menjaga kaum muslim dari berbagai produksi makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

http://tafany.wordpress.com/2009/03/22/semua-hal-beralkohol-dalam-tinjauan-fiqih/ALKOHOL DALAM MAKANAN, OBAT, DAN KOSMETIK :
TINJAUAN FIQIH ISLAM

1. Pendahuluan


Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam).” (HR. Al-Baghawi) (Haqqi, 2003:40).

Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya makanan, obat, dan kosmetik.

Akan tetapi, penentuan status halal haramnya suatu makanan, obat, atau kosmetik kadang bukan perkara mudah. Di satu sisi, para ulama mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik dewasa ini. Asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku-liku, banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Di sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah, relatif minimal. Dengan demikian seharusnya para ulama mencoba memahami kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah seharusnya menggali kembali pengetahuan syariahnya, di samping membantu ulama memahami kompleksitas masalah yang ada. (Apriyantono, Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan, www.indohalal.com).

Berkait dengan itu, penting sekali dikemukakan metode penentuan status hukum, baik penentuan hukum untuk masalah baru (ijtihad) maupun sekedar penerapan hukum yang sudah ada pada masalah baru (tathbiq al-hukm ‘ala mas`alah al-jadidah). Berdasarkan metode Taqiyuddin An-Nabhani (1994:201; 2001:74), terdapat 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan satus hukum :
Pertama, memahami fakta/problem secara apa adanya (fahmul musykilah al-qa`imah).
Fakta ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah manath (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III/24) . Di sinilah para ulama wajib memahami masalah yang ada, dibantu oleh para ilmuwan muslim.

Kedua, memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum syara’ (fahmul ahkam asy-syar’iyah) yang telah ada yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),

Ketiga, mengistinbath hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta; atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.

Makalah ini bertujuan terutama menjelaskan hukum alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik. Sebelum itu, akan dijelaskan lebih dulu beberapa prinsip dasar dalam fiqih Islam dalam penentuan status hukum. Prinsip ini pula yang secara spesifik digunakan dalam makalah ini untuk meninjau hukum alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik.

2. Beberapa Prinsip Dasar

Prinsip-prinsip dasar berikut ini ada yang berupa suatu hukum syara’ (al-hukm al-syar’i), dan ada pula yang berupa kaidah syara’ (al-qa’idah asy-syar’iyah) yaitu kaidah umum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus. Berikut penjelasan sekilas prinsip-prinsip tersebut.

2.1. Hukum Asal Benda Adalah Mubah

Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi Al-Ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya). (‘Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15). Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia
dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di dalamnya (Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 15). Kaidah ini disimpulkan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi manusia, yaitu telah dihalalkan oleh Allah (misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20).

Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal, berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48).

2.2. Hukum Asal Benda Yang Berbahaya Adalah Haram

Prinsip ini berbunyi : Al-Ashlu fi al-madhaar at-tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Prinsip ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, sementara tidak terdapat nash syar’I tertentu yang melarang, memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya haram. Sebab, syariat telah mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya, ecstasy dan segala macam narkoba lainnya hukumnya haram karena menimbulkan bahaya bagi penggunanya.

Dasar dari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW, di antaranya sabda Nabi SAW, “Laa dharara wa laa dhirara.” (Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain) (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lain-lain) (An-Nawawi, 2001:214).

2.3. Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda Yang Mubah, Jika Berbahaya atau Membawa
pada Bahaya, Maka Kasus Itu Saja Yang Haram, Sedang Hukum Asalnya Tetap Mubah

Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Kaidah ini berarti, suatu masalah (berupa perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus tertentu darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan.
Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.

Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits (Abdullah, 1996:141). Antara lain, Rasul SAW pernah melarang para sahabat untuk meminum air dari sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, IV/164).

2.4. Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram, Hukumnya Haram

Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi al-wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau benda] yang membawa kepada yang haram, hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada yang haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama, bahwa perantara itu diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram. Kedua, bahwa akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil syar’i (An-Nabhani, 2001:92).

Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu pengetahuan.” (QS Al-An’aam [6] : 108)

Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya mubah. Tapi kalau itu akan menimbulkan makian kepada Allah SWT, maka hukumnya menjadi haram. Dari sinilah muncul kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam.

Contoh penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau perasan (jus) anggur –dan yang semacamnya– yang diketahui akan dijadikan khamr. Padahal jual beli itu hukum asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram hukumnya, berdasarkan kaidah di atas.

Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”“Barang siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy).

Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul Authar, V/234). Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut.

2.5.Hukum Makanan/Minuman Tidak Didasarkan Pada Illat (Motif Penetapan Hukum)

Prinsip ini lengkapnya berbunyi Inna al-‘ibadat wa al-math’umat wa al-malbusat wa al-masyrubat wa al-akhlaq laa tu’allalu wa yaltazimu fiihaa bi al-nash. (Sesungguhnya [hukum] ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq, tidaklah didasarkan pada illat [motif/alasan penetapan hukum], melainkan didasarkan pada nash semata) (Abdul Qadim Zallum, 1985 : 51).

Kaidah tersebut diperoleh dari penelaahan induktif (istiqra`) terhadap hukum-hukum syara’ dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq. Kesimpulannya, hukum-hukum tersebut tidak mempunyai illat tertentu. Misalkan, puasa disyariatkan karena ada nash yang memerintahkannya, bukan karena alasan supaya orang yang berpuasa menjadi sehat. Khamr diharamkan karena ada nash yang mengharamkannya, bukan didasarkan pada alasan bahwa khamr itu memabukkan bagi yang meminumnya.

Kesimpulan tentang khamr ini lebih dipertegas oleh penjelasan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW bersabda, ”Diharamkannya khamr itu karena bendanya, banyak maupun sedikit. Juga (diharamkan) yang memabukkan dari setiap minuman” (HR An-Nasa’i dengan sanad hasan, Sunan An-Nasa’i VIII/320-321). Ibnu Umar RA juga meriwayatkan, ketika surat An-Nisaa’ ayat 43 turun (larangan mabuk pada waktu shalat), Rasulullah SAW
berkata, ”Diharamkan khamr karena zatnya.” (HR Abu Dawud).

Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu diharamkan karena zatnya itu sendiri, bukan karena ada illat tertentu. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram bukan karena ada illat tertentu, tapi karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya (berdasarkan nash).

2.6. Maslahat Bukan Dalil Syar’i (Sumber Hukum)

Maslahat artinya identik dengan manfaat (utility), yaitu suatu kemampuan yang terdapat pada benda (barang) atau perbuatan (jasa) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maslahat bukan dalil syar’i atau sumber hukum. Posisi maslahat jika dikaitkan dengan suatu ketetapan hukum syara’, dirumuskan dalam kaidah : haitsuma yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah (di mana ada penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat). Itulah yang benar, bukan aynama
wujidat al-maslahah fa tsamma syar’ullah (dimana ada maslahat maka di sana ada hukum Allah). (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958).

Karena itulah, kita akan dapat memahami, mengapa khamr itu tetap diharamkan walaupun khamr itu mempunyai beberapa maslahat (manfaat) (lihat QS Al-Baqarah [2] : 219). Manfaat khamr misalnya menghasilkan kalori. Setiap 1 gram etanol diketahui menghasilkan energi sebesar 7 kalori (Mustaha KS, 1983:24). Belum lagi manfaat-manfaat khamr dari segi ekonomi. Namun khamr tetap haram. Mengapa? Karena maslahat itu memang bukanlah dalil syar’i yang menjadi dasar untuk menetapkan halalnya sesuatu. Maslahat hanyalah dampak atau efek yang muncul setelah adanya penerapan hukum syara’, bukan dasar atau alasan penetapan hukum.

2.7. Perkara Syubhat Sebaiknya Ditinggalkan

Syubhat artinya ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fil Islam, hal. 100)

Ketidakjelasan status hukum, misalkan tentang hukum kura-kura atau penyu. Masalah ini belum bisa difatwakan oleh MUI karena faktanya masih kabur. Dalam situs www.halalmui.or.id, MUI menyatakan, “Masalah kura-kura di-pending. Memanggil pakar tentang kura-kura (penyu).”

Selain itu, syubhat bisa juga muncul karena ketidakjelasan fakta sesuatu itu sendiri. Meskipun status hukumnya sudah jelas. Mie goreng misalnya jelas status hukumnya mubah. Tapi terkadang di restoran tertentu ditambahkan arak (khamr) untuk untuk menambah selera pada mie goreng yang dimasak. Ini bisa terdapat pada mie goreng ayam, mie goreng sea food, mie goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan ini biasanya adalah khamr putih,
arak merah, atau mirin (www.halal.mui.or.id). Jadi, meski status mie goreng itu mubah, tapi penambahan zat yang haram ini lalu menimbulkan syubhat, apakah mie goreng di restoran tertentu itu halal atau haram?
Maka, sikap yang terbaik adalah meninggalkan perkara yang syubhat, sebagai suatu sikap wara’ yang sudah selayaknya dimiliki setiap muslim. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW : “…barangsiapa meninggalkan yang syubhat, berarti ia telah menjaga kebersihan agama dan kehormatan dirinya…” (Muttafaqun ‘alaihi, Lihat Subulus Salam, IV/171). Rasulullah SAW berkata pula, “Tinggalkan apa yang meragukanmu [menuju] kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR
At-Tirmidzi).

2.8. Keadaan Darurat Membolehkan Yang Haram

Darurat (adh-dharurat) menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazha`ir hal. 61 adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati binasa. Semakna dengan ini, darurat menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/477 adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirar al-mulji` alladzi yukhsya minhu al-halak).

Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram, sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih termasyhur : adh-dharuratu tubiihu al-mahzhuuraat (keadaan darurat membolehkan apa yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As–Sulam, hal. 59). Kaidah itu berasal dari ayat-ayat yang membolehkan memakan yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam kondisi terpaksa. Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 173 dan QS Al-Maidah [5] : 3.

Contoh penerapannya, misalnya ada orang kelaparan yang tidak memperoleh makanan kecuali daging babi, atau tidak mendapat minuman kecuali khamr, maka boleh baginya memakan atau meminumnya, karena darurat.

2.9.Memanfaatkan Benda Najis Hukumnya Haram

Memanfaatkan (intifa’/isti’mal) benda-benda najis (an-najasat) adalah masalah khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi dengan anak panah itu adalah rijsun (najis) termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan…” (QS Al-Maaidah [5] : 90)

Dalam firman Allah “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu) terkandung perintah untuk menjauhi rijsun yang berarti kotoran atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.

Maka, haram hukumnya memanfaatkan khamr, memanfaatkan kotoran binatang untuk pupuk, memanfaatkan alkohol, dan semua benda najis lainnya, sebab itu semua adalah najis yang wajib dijauhi, bukan didekati atau dimanfaatkan.

Memang, dalil QS al-Maidah : 90 ini dibantah oleh sebagian fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut adalah najis secara maknawi (atau najis hukmi, yakni najis secara hukum), bukan najis dzati (atau najis aini, yakni najis secara materi/zat). Karena kata rijsun tidak hanya khabar (keterangan) bagi khamr, tetapi juga keterangan bagi perbuatan berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib, yang semuanya jelas tidak bisa disifati dengan najis dzati. Mereka berdalil dengan firman Allah SWT (artinya) : ”Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu” (QS Al Hajj [22] : 30). Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut adalah najis maknawi, bukan najis dzatii. Contoh lain najis maknawi terdapat pada surat At Taubah ayat 28 (artinya): ”Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS At Taubah [9] : 28). Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzati (tubuh) mereka, tetapi najis maknawi, yaitu aqidah yang mereka peluk adalah aqidah syirik yang harus dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha’.

Dengan demikian, menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati. Implikasinya, khamr itu suci, bukan najis. Alkohol pun lalu adalah suci dan bukan najis. Pandangan tersebut –menurut mereka– diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min ‘amal asy-syaithan (dari perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud dengan najis (rijsun) dalam QS Al-Maidah ayat 90 adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati (Sayyid
Sabiq, Fiqhu Sunnah, I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206).

Hanya saja, pendapat jumhur itu (yang memandang bahwa kata rijsun dalam ayat tersebut juga mencakup najis dzati) dikuatkan oleh dalil hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya kami (para sahabat) berada di negeri para Ahli Kitab, mereka makan babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,”Apabila kamu tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah.” (HR Ahmad dan Abu Dawud). Perintah untuk mencuci bejana wadah khamr dan periuk wadah daging babi itu, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak suci. Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi SAW tidak akan memerintahkan mencucinya dengan air.

Dalil lain, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang pria akan memberikan hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman khamr, maka Rasulullah SAW berkata: “Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,”Apakah aku harus menjualnya?”, Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya”. Laki-laki itu bertanya lagi,”Apakah aku harus memberikan kepada orang Yahudi?” Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, diharamkan pula diberikan kepada orang Yahudi”. Laki-laki itu kembali bertanya,”Lalu apa yang harus saya lakukan
dengannya?” Beliau menjawab,”Tumpahkanlah ke dalam selokan.” (HR Al Khumaidi dalam Musnad-nya). (Ahmad Labib al-Mustanier, Hukum Seputar Khamr, www.islamuda.com)

Perintah untuk menumpahkan khamr ke selokan ini, menunjukkan bahwa khamr adalah najis dan tidak suci, yakni najis secara dzati.
Kesimpulannya, ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90 yang berbunyi “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah perintah untuk menjauhi rijsun (najis) yang mencakup najis dzati. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu (Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1986:228).

2.10. Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan Hukumnya Makruh

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauyziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih (kuat), yakni yang menyatakan bahwa berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan memanfaatkan benda najis dan haram hukumnya makruh, bukan haram.

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan.” (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban). Rasulullah SAW bersabda pula,”Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.”(HR Abu Dawud).

Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum air susu dan air kencingnya… (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M.
Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis.

Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.

Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Disinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram (“janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram”) tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim) —sehingga hukumnya haram– atau tidak tegas (ghairu jazim) –sehingga hukumnya
makruh–, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Nah, dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).

2.11. Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram

Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih “Kullu maa hurrima ‘ala al-ibaad fabay’uhu haram.” (Segala sesuatu yang diharamkan Allah atas hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248). Karena itu, memperjualbelikan babi, darah, khamr, dan patung adalah haram. Karena syariah telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah, meminum khamr, dan membuat patung.

Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi SAW, ”Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya.” (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,”Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil.” (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221)

Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang najis dan haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram. Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya makruh, tidak haram.

3. Hukum Syara‘ Seputar Alkohol
3.1. Pengertian Khamr
Khamr dalam pengertian bahasa Arab (makna lughawi) berarti “menutupi”. Disebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan menurut pengertian ‘urfi (menurut adat kebiasaan) pada masa Nabi SAW, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur (Asy-Syaukani, Nailul Authar, IV/57).

Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr adalah setiap minuman yang memabukkan (kullu syaraabin muskirin). Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya. Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah hadits dari Nu’man bin Basyir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr” (HR Jama’ah, kecuali An-Nasa’i).

Dari Jabir RA, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah minuman itu memabukkan?” “Ya” jawabnya. Kemudian Rasulullah SAW menjawab : ”Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari thinah al-khabal. Mereka bertanya, apakah thinah al-khabal itu? Jawab Rasulullah,”Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka.” (HR Muslim, AnNasa’i, dan Ahmad).

Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa ia berkata, “Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang dua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit’i dan al murir. Yang pertama terbuat dari madu yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda,””Setiap yang memabukkan itu haram.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW juga bersabda, ”Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram.” (HR Muslim dan Daruquthni).

Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkan. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Berarti itu merupakan pengertian syar’i tentang khamr yang disampaikan Rasul SAW dalam hadits-haditsnya (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul Uqubaat, hal. 49-50).Dalam keadaan demikian, yakni setalah adanya makna syar’i –makna baru yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara’– yang berbeda dengan makna lughawi dan makna ‘urfi, maka makna syar’i tersebut harus didahulukan daripada makna lughawi dan makna urfi.

Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa “setiap yang memabukkan itu khamr”, berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.

Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian fakta), oleh para kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan dalam khamr adalah etil alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat memabukkan. Minuman yang mengandung alkohol ini, dikenal dengan terminologi “minuman beralkohol”. Walaupun bermacam-macam namanya dan kadar alkoholnya, semuanya termasuk kategori khamr yang haram hukumnya.

3.2. Sekilas Fakta Alkohol

Alkohol yang dimaksud dalam pembahasan di sini ialah etil alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus C2H5OH (Hukum Alkohol dalam Minuman, www.mui.or.id).

Penggunaan etanol sebagai minuman atau untuk penyalahgunaan sudah dikenal luas. Karena jumlah pemakaian etanol dalam minuman amat banyak, maka tidak mengherankan keracunan akut maupun kronis akibat etanol sering terjadi (Mutschler, 1991:750).

Alkohol di Dunia Barat sudah menjadi lazim dan diterima dalam pergaulan sosial. Namun seringkali digunakan berlebihan sehingga menjadi penyebab utama kecelakaan lalu lintas yang fatal (Tjay & Rahardja, 1986:711). Pada konsentrasi 1,0 – 1,5 mg/ml darah, alkohol menimbulkan gejala euforia dan tidak ada rasa segan, sehingga sering menyebabkan kecelakaan lalu lintas (Mutschler, 1991:751).

Alkohol jelas banyak digunakan dalam industri minuman beralkohol, yaitu minuman yang mengandung alkohol ( etanol ) yang dibuat secara fermentasi dari jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat, misalnya: biji-bijian, buah-buahan, nira dan sebagainya, atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi. Termasuk di dalamnya adalah minuman keras klasifikasi A, B, dan C (Per. Menkes No. 86/ 1977).

Menurut Per. Menkes No. 86/ 1977 itu, minuman beralkohol dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1 – 5 %, misalnya bir. Golongan B dengan kadar alkohol 5- 20 %, misalnya anggur. Golongan C dengan kadar 20 – 55 %, misalnya wiski dan brendi (www.halalmui.or.id). Kadar alkohol dalam minuman beralkohol berbeda-beda, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :

No: Nama Minuman: Kadar Alkohol:

1 Bir Putih 1 – 5 %
2 Bir Hitam 15 %
3 Samsu 20 %
4 Macam-Macam Anggur 15 %
5 Ryn & Moezelwijn 10 %
6 Anggur Malaga 15 – 17 %
7 Tokayer 15 %
8 Sherry 20 %
9 Likeuren 30 – 50 %
10 Anggur Perancis 9 – 11 %
11 Champagne 10- 12 %
12 Anggur Spanyol 15 – 20 %
13 Anggur Hongaria 15 – 20 %
14 Rhum dan Brandy 40 – 70 %
15 Jenever 40 %
16 Bols 40 %
17 Hulskamp 40 %
18 Whiskey 30 – 40 %
19 Cognac 30 – 40 %
20 Tuak & Saguer 11 – 15 %
21 Macam-Macam Anggur Obat 15 – 20 %
22 Shake 10 %

Tabel 1. Nama Minuman dan Kadar Alkoholnya. (Sumber : Mustafa KS, Alkohol Dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan, Bandung : PT Alma’arif, 1983 : 23)

Minuman beralkohol dibuat dari proses fermentasi karbohidrat (pati) melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu : (1) pembuatan larutan nutrien, (2) fermentasi, (3) destilasi etanol. Adapun bahan-bahan yang mengandung gula tinggi, tidak memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda dengan bahan yang yang berasal dari bahan pati dan selulosa, yang memerlukan penambahan asam (perlakuan kimia) dan penambahan enzim untuk menghidrolisisnya menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Jika bahan untuk fermentasi berasal dari biji-bijian seperti jagung dan sereal lainnya, maka bahan tersebut harus direndam dalam air (soaking) hingga berkecambah, lalu direbus dan diprose menjadi mash dan dipanaskan. Disamping penggunaan mikroorganisme pada proses fermentasi, kondisi optimal fermentasi harus dijaga, seperti aerasi, pH, suhu, dan lain-lain (Tabloid Dialog Jumat, Jumat 18 Pebruari 2005, hal. 6).

Dalam dunia kimia, farmasi dan kedokteran, etanol banyak digunakan. Di antaranya:

1. Sebagai pelarut. Sesudah air, alkohol merupakan pelarut yang paling bermanfaat dalam farmasi. Digunakan sebagai pelarut utama untuk banyak senyawa organik (Ansel, 1989:313,606).

2. Sebagai bakterisida (pembasmi bakteri). Etanol 60-80 % berkhasiat sebagai bakterisida yang kuat dan cepat terhadap bakteri-bakteri. Penggunaannya adalah digosokkan pada kulit lebih kurang 2 menit untuk mendapat efek maksimal. Tapi alkohol tidak bisa memusnahkan spora (Tjay & Rahardja, 1986:170; Mutschler, 1991:612).

3. Sebagai alkohol penggosok. Alkohol penggosok ini mengandung sekitar 70 % v/v, dan sisanya air dan bahan lainnya. Digunakan sebagai rubefacient pada pemakaian luar dan gosokan untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang terbaring lama (Ansel,1989:537).

4. Sebagai germisida alat-alat (Ansel, 1987:537).

5. Sebagai pembersih kulit sebelum injeksi (Ansel, 1987:537; IONI 2000:423).

6. Sebagai substrat, senyawa intermediat, solven, dan pengendap (Apriantono, www.indohalal.com)

3.3. Alkohol Itu Najis

Telah disinggung sebelumnya bahwa khamr adalah najis (meski ada perbedaan pendapat dalam hal ini). Sebagai implikasinya, alkohol (etanol) sebagai zat yang memabukkan dalam khamr, hukumnya najis juga. Hal ini sesuai kaidah fiqih : At-Taabi’ Taabi’ (Hukum bagi yang mengikuti, adalah mengikuti (sama dengan) hukum yang diikuti). (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 64).

Dengan menerapkan kaidah itu, kita tahu bahwa khamr hukumnya najis. Maka, etanol sebagai bagian dari khamr, hukumnya mengikuti khamr dari segi kenajisannya. Jadi, etanol hukumnya mengikuti hukum khamr. Jika sudah jelas alkohol itu najis, maka bagaimana hukum menggunakannya? Jawabannya, pemanfaatan benda najis pada asalnya adalah haram (lihat prinsip dasar 2.9.). Adapun bila digunakan untuk kepentingan pengobatan atau produksi obat, seperti digunakan sebagai desinfektan alat dan tangan sebelum operasi, pembersih kulit sebelum injeksi, atau sebagai campuran obat, hukumnya makruh, tidak haram (lihat prinsip dasar 2.10).

Menjualbelikan alkohol pada asalnya adalah haram, kecuali untuk kepentingan pengobatan, hukumnya boleh (lihat prinsip dasar 2.11).

3.4. Alkohol dalam Makanan/Minuman

Alkohol dalam bentuk khamr (minuman beralkohol) banyak dijumpai sebagai campuran dalam makanan atau minuman. Hukum menggunakan alkohol sebagai campuran makanan dan minuman ini adalah haram, karena termasuk dalam pemanfaatan benda najis yang telah diharamkan dalam Islam (lihat prinsip dasar 2.9.). Kecuali dalam kondisi darurat, yaitu jika tidak memakan makanan tersebut akan mengancam keselamatan jiwa, maka diperbolehkan (lihat prinsip 2.8.). Juga dikecualikan, makanan seperti itu jika digunakan sebagai obat, maka hukumnya boleh, dalam arti makruh (lihat prinsip 2.10).

Berikut ini paparan fakta mengenai keberadaan alkohol (khamr) dalam berbagai makanan dan minuman (sumber www.halalmui.or.id) :

a. Khamr Sebagai Penyedap Masakan
Dikenal ada beberapa khamr (arak) sebagai penyedap masakan Cina, Jepang, Korea, dan masakan lokal yang berorientasi khamr. Khamr-khamr itu misalnya : (1) Ang Chiu, sebagai penyedap masakan, berguna untuk mempersedap masakan daging, tim ayam, sea food dan sayur mayur, (2) Lo Wong Chiu, digunakan sebagai saus penyedap masakan, dan digunakan juga sebagai penyedap masakan daging, tim ayam, sea food dan sayur mayur; (3) Anggur Beras Putih, sebagai rendaman obat Thionghoa dan berbagai masakan.

b. Khamr dalam Kue Ultah
Dalam sebuah resep kue ulang tahun yang terdapat di majalah ternama terdapat deretan bahan yang harus disiapkan. Salah satunya adalah “rhum”. Masyarakat ternyata acuh tak acuh terhadap keberadaan bahan tersebut. Mereka perlu tahu bahwa rhum adalah nama dari sebuah minuman keras dengan kadar alkohol sampai 30 persen.

c. Khamr dalam Makanan Bakaran
Dalam masakan ikan bakar, daging panggang atau barbeque, khamr sering digunakan untuk melunakkan daging dan menciptakan aroma khas khamr. Khamr yang sering digunakan adalah dari jenis arak putih atau anggur beras ketan. Memang tidak semua ikan bakar atau daging bakar menggunakan bahan ini. Tetapi dari beberapa kasus yang terjadi di restoran Jepang dan Cina, penggunaan khamr ini kadang-kadang ditemukan. Ciri masakan bakar yang menggunakan khamr agak susah dideteksi. Secara umum khamr dalam masakan bakar agak susah dideteksi. Secara umum daging atau ikan yang direndam khamr biasanya lebih lunak, lebih empuk dan memiliki aroma khas khamr. Tetapi tanda-tanda tersebut pada kenyataannya sulit dikenali, karena daging yang lunak dan empuk juga bisa disebabkan oleh enzim papain dari daun atau getah pepaya. Sedangkan aroma khamr sangat sulit dikenali, khususnya bagi orang awam yang tidak terbiasa dengan aroma tersebut.

d. Khamr dalam Tumisan
Masakan yang menggunakan cara pemasakan tumis juga sering menggunakan khamr sebagai bahan yang ditambahkan. Aroma khamr akan muncul pada saat tumisan dipanaskan dengan api dan khamr dimasukkan ke dalam wajan.

e. Khamr dalam Mie
Mie goreng dengan berbagai rasa kadang-kadang ditambahkan khamr untuk mencitarasakan khamr guna menambah selera. Seperti mie goreng ayam, mie goreng sea food, mie goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan ini biasanya adalah arak putih, arak merah atau mirin.

f. Khamr dalam Sea food
Jangan dikira setiap sea food pasti aman. Meskipun semua isi laut halal, tetapi cara memasaknya sangat beraneka ragam. Nah, pemasakan sea food itulah yang kadang-kadang menggunakan saus dan khamr untuk menghasilkan rasa dan aroma khas yang konon mengundang selera.

g. Khamr dalam Campuran Minuman
Di restoran-restoran atau café sering ditawarkan beraneka ragam minuman dengan nama keren dan penampilan yang eksentrik. Kadang-kadang kita terjebak dengan nama minuman itu yang kelihatannya aman. Misalnya avacado fload, lemon squash, oranges dan beberapa minuman yang berkonotasi buah-buahan. Tetapi tidak ada salahnya jika kita bertanya kepada pramusaji, apa saja isinya. Sebab tidak jarang di dalam minuman buah itupun ditambahkan rhum atau minuman keras yang lain. Katanya untuk menimbulkan sensasi khusus ketika kita meneguknya. Dari semua jenis makanan yang berpeluang ditambahkan khamr/minuman keras itu memang sulit dideteksi secara visual. Apalagi bagi kita yang tidak pernah mengenal minuman keras.

3.5.Alkohol dalam Obat-Obatan
Seperti telah dijelaskan di atas dalam prinsip 2.9. di atas, berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan haram. Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol –meskipun najis— dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. (Namun, perlu sekali dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Tapi jika ia mengerjakannya, tidak mengapa dan
tidak berdosa).

Atas dasar itu, maka penggunaan berbagai bahan yang najis dan haram, tidaklah mengapa. Hukumnya makruh. Misalnya, menggunakan alkohol sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam benda najis lainnya di luar alkohol. Misalnya penggunaan selongsong kapsul dari bahan babi, penggunaan urine sebagai sarana terapi, dan sebagainya.

Namun karena ada pendapat lain dari umat Islam yang mengharamkan penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia obat-obatan. Kalaupun kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita disunnahkan menggunakan bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari perselisihan. Kaidah fiqih menyatakan : Al-Khuruj minal Khilaaf mustahab (Menghindarkan diri dari perselisihan pendapat, adalah disunnahkan). (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, h. 68)

3.6.Alkohol dalam Kosmetik

Fungsi alkohol dalam sediaan kosmetika (terutama parfum) pada umumnya adalah sebagai pelarut dan digunakan di luar badan. Bagaimanakah hukumnya menurut fiqih Islam?

Hukumnya haram, sebab alkohol itu najis sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dan memanfaatkan najis adalah haram (lihat prinsip dasar 2.9).

Memang benar, bahwa alkohol itu mudah menguap. Beberapa saat setelah sediaan kosmetika (juga parfum) diaplikasikan, maka alkohol akan segera menguap dan tidak terdeteksi lagi (undetectable). Adanya bau dari parfum yang diaplikasikan di pakaian, adalah zat wanginya, bukan alkoholnya (Mursyidi, Kehalalan Bahan dalam Sediaan Kosmetika, makalah, tidak dipublikasikan). Pertanyaannya, apakah jika pada hasil akhir alkohol tidak terdeteksi, berarti kita boleh menggunakan alkohol dalam proses tersebut?

Hukumnya haram, sebab ada tidaknya alkohol pada hasil akhir, bukanlah satu-satunya pertimbangan hukum. Yang (juga) menjadi pertimbangan, adalah tindakan pemanfaatan alkohol itu sendiri. Bukan hanya dilihat apakah pada hasil akhirnya alkohol itu masih dapat dideteksi atau tidak. Padahal pemanfaatan alkohol adalah haram, karena alkohol termasuk ke dalam kategori benda najis yang tidak boleh dimanfaatkan (lihat prinsip dasar 2.9.).Jadi pemanfaatan alkohol dalam sediaan parfum adalah haram, meskipun pada hasil akhirnya alkohol itu sudah tidak dapat terdeteksi lagi. Jawaban ini juga berlaku untuk penggunaan bahan najis lainnya dalam bidang kosmetika. Misalnya, penggunaan lemak babi sebagai bahan pembuatan sabun. Sabun yang dihasilkan, secara sifat fisik dan kimiawi sudah sangat berbeda dari bahan dasar/asalnya yang najis. Pertanyaannya, apakah boleh menggunakan lemak babi sebagai bahan dasar sabun? Jawabannya adalah tidak boleh (haram), sebab ada tidaknya lemak babi pada hasil akhir, bukanlah satu-satunya pertimbangan hukum. Yang (juga) menjadi pertimbangan, adalah tindakan pemanfaatan lemak babi itu itu sendiri. Bukan hanya dilihat apakah pada hasil akhirnya lemak babi itu masih dapat dideteksi atau tidak. Pemanfaatan lemak babi adalah haram, berdasarkan nash Al Qur`an yang telah mengharamkan babi (Al-Baghdadi, 1994:43-44), di samping lemak babi termasuk benda najis yang tidak boleh dimanfaatkan (lihat prinsip dasar 2.9.)

Dapat ditambahkan, bahwa akhir-akhir ini telah diketahui, heparin (sodium heparin) yang sudah diproduksi secara komersial, ternyata berasal dari jaringan mukosa usus babi. Dalam dunia kosmetika, heparin merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam pembuatan cream untuk nutrisi kulit, cream untuk sekitar mata, produk-produk anti acne dan juga hair tonic. Produk ini diproduksi di China serta diekspor terutama untuk negara Amerika dan Eropa. Maka, umat Islam sudah seharusnya menghindari produk kosmetika yang mengandung unsur heparin (sodium heparin) yang berasal dari Amerika, Eropa apalagi China (www.halalmui.or.id).

4. Penutup

Sebagai penutup, kiranya patut kita renungkan, bahwa masalah keberadaan alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik telah menjadi salah satu persoalan kaum muslimin setelah mereka dikungkung oleh sistem sekuler yang kufur ini. Sistem tersebut sama sekali tidak memperdulikan halal dan haram, karena berdiri di atas asas manfaat (pragmatisme/utilitarianisme). Akibatnya, kaum muslimin merasa kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya, karena hampir semua segi kehidupan dipenuhi dengan kemaksiatan dan keharaman. Termasuk membajirnya produk-produk yang dilarang oleh syara’ baik makanan, obat, maupun kosmetik.

Berbeda halnya jika kaum muslimin hidup dalam naungan negara Khilafah Islam. Sebuah sistem yang melindungi kaum muslimin dari berbagai jenis pelanggaran terhadap syara’at Islam. Termasuk akan menjaga kaum muslimin dari berbagai produksi makanan, minuman, dan obat-obatan yang haram. Karena itu, persoalan ini baru akan tuntas secara total apabila Negara Khilafah Islam berdiri. Kita bermohon kepada Allah, agar kita senantiasa diberi kekuatan untuk
tetap berjuang secara ikhlas dalam menegakkannya. Semoga Allah SWT memberikan pertolongan kepada kaum muslimin di seluruh dunia. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Beirut : Darul
Bayariq.

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1986. Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah. Sidney: Tanpa Penerbit.

———-. 1994. Babi Halal Babi Haram. Jakarta : Gema Insani Press.

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

Al-Mustanier, Ahmad Labib. Tanpa Tahun. Hukum Seputar Khamr. www.islamuda.com.

Al-Qaradhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi
Al-Islam).

Terjemahan oleh Muammal Hamidy. Surabaya : PT Bina Ilmu

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Al-Quds :

Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

———-. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fil Islam. Beirut : Darul Ummah.

———-.1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Beirut : Darul Ummah.

———-. 2001. Nizhamul Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

An-Nawawi, Imam. 2001. Syarh Matn Al-Arba’in An-Nawawiyah (Syarah Hadits Arba’in).

Terjemahan oleh H. Murtadho dan Salafuddin. Solo : Al-Qowam.

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. EdisiIV. Jakarta : UI Press.

Apriyantono, Anton. Tanpa Tahun. Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan, http://www.indohalal.com/doc_halal3.html

Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz I. Bandung : Maktabah Dahlan.

Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. Juz III. Beirut : Darul Fikr.

Hakim, Abdul Hamid. Tanpa Tahun. Mabadi` Awwliyah. Jakarta : Sa’adiyah Putra.

———-. Tanpa Tahun. As-Sulam. Jakarta : Sa’adiyah Putra.

Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. Al-Arba’una Haditsan fi Al-Akhlaq ma’a Syarhiha
(Syarah 40 Hadits

Tentang Akhklak). Terjemahan oleh Abu Azka. Jakarta : Pustaka Azzam.

Departemen Kesehatan Dirjen POM. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia.
Jakarta : Depkes.

MUI. Hukum Alkohol dalam Minuman. www.mui.or.id

Makhluf, Hasanain Muhammad. 1994.Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an.
Damaskus-Beirut : Darul Fajr Al-Islami.

Mursyidi, Ahmad. Tanpa Tahun. Kehalalan Bahan dalam Sediaan Kosmetika. Makalah.
Tidak Dipublikasikan.

Musthafa K.S. 1983. Alkohol dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan.
Bandung : PT Alma’arif.

Mutscher, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB.

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 1986. Obat-Obat Penting : Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi IV.

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta : Gema Insani Press.

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=416

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=417
Hukum Makanan Dan Minuman

” Hai orang-orang yang beriman. makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya kepada-Nya sajalah kamu meyembah() Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih ) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (AL BAQARAH ayat 172-173).

” HAi orang-orang yang beriman , sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib, dengan ana panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan, sesungguhnya syaithan hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran( meminum) khamr dan berjudi itu, dan mengahalangi kamu dari menginga Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (AL MAIDAH ayat 90-91)

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut, sebagai makanan yang lezat bagimu..” (Al MAIDAH 96)

“Katakanlah: ” Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya , kecuali kalau makanan itu bangkai atau adarah yang mengalir atau daging babi – karena semuanya itu kotor( Rijsun aw fisqun)- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (AL AN’AM ayat 145)

“….dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengahramkan bagi mereka segala yang buruk….”( Potongan dari Al A’RAAF ayat 157)

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW bersbada : ” Setiap binatang buas yang bertaring, maka (hukum) memakannya haram”. (HR. Muslim)

Dari Jabir ra. berkata: Rasulullah SAW melarang (memakan) daging Himar yang jinak pada perang khaibar dan membolehkan (memakan) daging kuda.” (HR Bukhori dan Muslim)

Dari Ibnu Abi Aufa ra. berkata: “Kami telah ikut berperang bersama Rasulullah SAW tujuh kali yang (pada waktu itu) kami memakan belalang. ” (Mutafaqun ‘alaih)

Dari Ibnu Umar ra sesungguhnya nabi SAW bersabda: ” Semua yang memabukan adalah khamr dan semua khamr adalah haram.” ( HR.Muslim)

Dari jabir Ibnu Abdullah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ” Apa yang memabukan jika banyak, maka sedikitnyapun adalah haram.”( HR Tirmidzi, Abu daud dan Nasai).

Hukum Asal(pada dasarnya) semua makanan adalah halal. Berdasarkan Firman Allah SWT: ” Dialah Allah yang telah menjadikan apa saja yang ada di bumi ini.” Maka tidak diharamkanlah suatu makanan kecuali apa yang ditunjukan keharamannya dalam Alquran dan hadis Nabi ataupun Qiyas yang benar.

Dan senantiasalah Syari’at Islam mengharamkan sebagian makanan itu karena makanan itu mempunyai bahaya terhadap tubuh atau karena bisa mempengaruhi tabiat/karakter manusia atau karena bisa merusak akal manusia.
Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyebutkan dalam bukunya (Ilmu Fiqih JIlid I) bahwa banyak hadist yang mengharamkan makanan makanan tertentu, seperti binatang yang makan kotoran, ular, binatang yang hidup di air dan darat, tikus dan sebagainya, tetapi nilai hadistnya diperselisihkan oleh para ulama.

Macam Makanan Yang Diharamkan
A. Yang Diharamkan Berdasarkan dalil Al Quran:

1. Makanan Milik orang lain; ” Dan janganlah kamu memakanan makanan diantara kamu sekalian dengan bathil” ( AL BAQARAH 188)
2.Bangkai. Yaitu bangkai hewan yang mati sendiri, bisa karena tercekik, dipukul, terjatuh, tertanduk, dan juga sisa binatang buas.
3. Darah yang dikucurkan
4. Daging babi.
5. Sesuatu yang disembelih karena selain Allah
6. Binatang yang disembelih karena berhala
7. Khamr, yaitu sesuatu yang memabukan

” Diharamkan atas kamu sekalian bangkai, darah, daging babi, apa-apa(hewan) yang disembelih karena selain Allah , yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala..dst” ( AL MAIDAH 3)

B. Yang diHaramkan Berdasarkan Hadist
1. Setiap yang bertaring
2. Himar
3. setiap yang memiliki cakar (cengkeraman)
4. Binatang yang makan kotoran.


http://islamwiki.blogspot.com/2009/04/hukum-makanan-dan-minuman.html